Inewsgorontalo.com-Indonesia bukan negara miskin. Kita punya kekayaan alam yang luar biasa. Tambang emas, batu bara, nikel, dan hutan yang menyimpan sumber daya tak ternilai. Tapi ironi terjadi saat ini, semakin banyak sumber daya digali, semakin banyak pula ketimpangan dan kerusakan yang kita saksikan. Ini bukan soal kemampuan teknis atau kekurangan SDM. Masalah kita adalah terlalu banyak penjahat kekuasaan dan penjilat kebijakan yang dibiarkan bebas.
Penjahat kekuasaan adalah mereka yang duduk di puncak pemerintahan namun memanfaatkan jabatan bukan untuk mengabdi, melainkan untuk mengatur ulang sistem agar menguntungkan diri sendiri dan kroni. Mereka tahu dimana titik rawan, dan di situlah mereka bermain dalam penyusunan regulasi, pemberian izin, hingga pembiaran terhadap kejahatan yang terstruktur.
Salah satu contoh paling nyata adalah dalam praktik pertambangan ilegal (ilegal mining). Aktivitas ini marak di berbagai daerah, dari Kalimantan hingga Sulawesi, dan sering kali terjadi di wilayah yang seharusnya dilindungi. Tapi mengapa bisa begitu masif dan dibiarkan?
Jawabannya sederhana: ada perlindungan dari atas. Ada kekuasaan yang tutup mata, bahkan dalam banyak kasus, justru ikut mengambil bagian dalam aliran uang gelap dari tambang-tambang liar. Penjahat kekuasaan ini memainkan peran utama, baik secara langsung maupun melalui jejaring perizinan dan aparat.
Namun mereka tidak bisa bekerja sendiri. Di belakangnya ada penjilat kebijakan: mereka yang merumuskan narasi bahwa semua ini adalah “proses pembangunan”, bahwa pertumbuhan ekonomi harus dipacu walau dengan mengorbankan lingkungan, masyarakat adat, dan generasi masa depan. Mereka menutup telinga dari jeritan warga yang tanahnya tercemar dan hutan mereka dihancurkan.
Mereka hadir di ruang-ruang kebijakan, di panggung diskusi publik, di media sosial, bahkan di dunia akademik. Mereka menjual kredibilitasnya untuk membela kejahatan atas nama “kestabilan”. Padahal apa yang mereka lakukan bukan menjaga bangsa, melainkan menjaga kekuasaan agar tetap nyaman.
Sementara itu, masyarakat kecil terus terdampak. Sungai tercemar, lahan rusak, dan ekonomi lokal hancur. Ketika warga protes, mereka dikriminalisasi. Ketika jurnalis mengungkap, mereka diintimidasi. Ketika aktivis bersuara, mereka diteror. Semua ini adalah hasil kerja sistemik dari kolaborasi antara penjahat kekuasaan dan penjilat kebijakan.
Kita tidak sedang membicarakan kasus demi kasus. Kita sedang bicara tentang sistem yang rusak. Dan selama masyarakat diam, maka sistem ini akan terus berjalan.
Perubahan sejati tidak akan datang dari atas. Mereka yang menikmati sistem ini tidak akan pernah menjadi agen perubahan. Perubahan hanya bisa datang dari rakyat yang muak, marah, dan berani menolak dan berani berkata “tidak” bukan dari mereka yang selalu berkata “siap pak”.
Karena sejarah bangsa ini tidak pernah ditulis oleh mereka yang mengangguk. Ia ditulis oleh mereka yang berani melawan.